Thursday 5 May 2016

Tragedi Pendakian Everest yang berakhir dengan kematian!!

Tragedi Pendakian Everest yang berakhir dengan kematian!!

sebuah panggung besar yang mempertontonkan segala ketamakan dan keserakahan manusia dalam menghadapi alam.

Tragedi Terbaru Yaitu Di Tahun 2014
Sherpa pendaki merupakan setengah pemandu, setengah kuli, setengah asisten pribadi, setengah pembimbing, dan setengah pelindung. Tugas mereka kadang termasuk mengangkut peralatan atau menyajikan sarapan di tempat tidur. Tinggi tumpukan uang mereka pada hari upah biasanya tergantung pada jumlah beban yang dibawa dan jumlah perjalanan yang dilakukan antara kemah. Pada pukul 6.45, 18 April 2014, bongkahan es raksasa terlepas dari gletser gantung di bahu barat Gunung Everest dan menggemuruh turun 300 meter ke Khumbu Icefall atas, menewaskan 16 pekerja gunung, 13 di antaranya Sherpa dan tiga dari suku Nepal lain dan mencederai delapan orang. Ini kecelakaan terparah dalam seratus tahun sejarah pendakian puncak ini.



Everest adalah saksi hidup dari ketabahan dan keuletan manusia, juga keberanian dan tekad.
Gunung ini sekaligus merupakan sebuah panggung besar yang mempertontonkan segala ketamakan dan keserakahan manusia dalam menghadapi alam. Everest, berawal sebagai tempat suci kemudian dilecehkan oleh sekelompok orang berduit yang cukup tolol untuk mengerek mereka sampai ke puncaknya. Selama 150 tahun sejarah mencatat sejumlah peristiwa mengerikan yang terjadi di tempat para Dewa ini, inilah 10 catatan paling buruk dari tragedi pendakian Everest:

10. Longsor di North Col

Ekpedisi paling awal dari para Inggris terjadi pada tahun 1922. Pada 7 Juni, rombongan yang terdiri dari George Mallory, dua rekan senegaranya, dan 14 orang sherpa sedang berjuang menembus salju setinggi pinggang dewasa mereka, mendekati puncak Utara pada ketinggial 7.000 meter, mereka mendengar gemuruh kencang longsor dari atap Everest diikuti longsoran salju yang meluncur ke arah mereka. Longsor besar tersebut menyapu sembilan orang porter, membawa mereka ke dalam celah jurang yang dalam. Menakjubkan mereka berhasil menemukan 2 dari porter tersebut dalam keadaan hidup, untuk kemudian terpaksa meninggalkan jasad 7 lainnya di sana. Mallory menyalahkan dirinya untuk kecelakaan tersebut, kemudian Ia menulis kepada istrinya, Ruth, "Tidak pernah ada kewajiban yang saya ingin sekali lakukan demi sebuah penghormatan yaitu mengurus mereka para korban."

9. Kereta di Everest


Kejadian ini dapat diperdebatkan karena mungkin bukanlah tragedi yang masuk dalam kategori yang sama dengan lainnya. Orang Tibet, benar-benar khawatir terhadap rel kereta yang dibangun Tiongkok yang kala itu menyambungkan Beijing dan Lhasa, dan rencananya akan meluas hingga bisa menempuh Everest dengan menyambung transportasi mobil dalam jarak yang sangat dekat. Hal ini ditakuti hanyalah akan menambah masalah yang sudah ada di daerah tersebut.

Jalur kereta tersebut menyebabkan kontroversi tentang membanjirnya turis dan migrasinya suku Han Tiongkok ke dalam area Tibet. Pada 2007, turis yang menyambangi Everest sisi Utara mencapai 27.476 jiwa, dua kali lipat jumlah turis dari tahun sebelumnya. Pada 2010, Pemerintah Tiongkok memulai pembangunan sambungan rel pertama menuju kota terbesar kedua di Tibet, Shigatse, menuju ke Himalaya. Jumlah kenaikan turis Tiongkok di area ini menyebabkan lautan protes berdarah di Lhasa dan berujung terhadap penangkapan oleh pihak berwajib hingga ke Base Camp Everest.

Sementara, Tiongkok memuji daerah ini sebagai sebuah peluang ekonomi yang baik bagi mereka, para bhiksu-bhiksu Tibet di negara-negara tetangga India tersebut melanjutkan protes mereka terhadap tekanan-tekanan keagamaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan tindakan pengasingan pemimpin mereka, Dalai Lama, dengan cara membakar diri di jalan. Peristiwa ini pantas ada di no. 9 dalam daftar tragedi terburuk Everest.

8. Kecelakaan di punggungan Barat

Pada 1974, sebuah ekspedisi ambisius yang dipimpin oleh seorang berkewarganegaraan Prancis Gerard Devouassoux, wakil walikota Chamonix, berencana untuk melakukan pendakian menempuh jalur punggungan Barat Everest. Catatan sejarah mencatat bahwa pendakian ke puncak melalui jalur ini pertama kali dilakukan oleh Willie Unsoeld dan Tom Hornbein pada musim pendakian tahun 1963. Namun tim ini melakukannya dengan banyak variasi jalur, artinya mereka tidak mendaki seluruh punggungan sisi Barat Everest. Devouassoux dan 19 anggota ekspedisinya berniat untuk melakukan pendakian dengan hanya menempuh jalur seluruh punggungan.

Mereka tiba pada akhir Agustus, sambil berharap untuk angin musim yang biasanya menimbun salju yang tidak stabil di daratan gunung untuk bergeser. Mereka tahu bahwa berharap pada cuaca adalah sebuah perjudian, tapi kekalahan bukanlah sesuatu yang mereka masukkan dalam daftar rencana ekspedisi. Sayangnya, angin musim kembali datang ketika para pendaki ekspedisi ini menyebar di tiga perkemahaan berbeda di atas Everest. Pada malam hari di 9 September, sebuah longsoran besar menyapu tenda-tenda mereka, mengubur Devouassoux dan 5 Sherpa-nya. Mereka tak pernah bisa ditemukan. Kejadian ini menjadi peristiwa terburuk di atas puncak Everest. Selama lima tahun ke depan, para pendaki menghindari jalur ini.

7. Menghilangnya Boardman dan Tasker

Pada 1982, ketika duo Inggris Peter Boardman, seorang instruktur pendakian dan Joe Tasker bekas pelajar seminar, berencana untuk menaklukkan The Pinnacles, tebing-tebing menyeramkan seperti gigi hiu yang terletak di sisi Utara Everest di ketinggian hampir 7900m, mereka berdua merupakan dua di antara pendaki yang paling terkenal saat itu. Terkenal dengan strategi pendakian bergaya Alpin dengan kemampuan fisik danmountaineering menakjubkan.

Selain terkenal karena prestasi dan kemampuan, mereka juga terkenal akan rasa humor yang tinggi dan dikenal membuat "hidup" suasana di Base Camp. Pada 17 Mei, pasangan ini meninggalkan perkemahan menuju Northeast Ridge, dan, setelah 14 jam mendaki di atas 8.000 meter tak pernah ada terdengar kabar dari mereka lagi. Tidak pernah jelas apa yang sebenarnya terjadi setelah itu. Pada tahun 1992, sebuah tim pendaki Kazaktan menemukan jasad Boardmans duduk dalam damai dekat salah satu dasar tebing. Joe Tasker tak pernah terlihat hingga kini.

6. Tragedi Longsor Es

Tahun 1970 merupakan tahun yang sangat sibuk di Everest. Beberapa ekspedisi besar bermarkas di sisi Selatan, termasuk ekspedisi ski tim Jepang yang berisikan Yuichiro Miura.

Lebih dari 150 manusia mengantri melewati Khumbu Icefall, yang terkenal lautan es yang paling tidak stabil yang paling ditakuti oleh para pendaki di jalur Selatan. Pada tanggal 5 April, bongkahan besar es longsor dan menyapu para Sherpa dari ekspedisi ski tim Jepang. 6 dinyatakan hilang. Itu adalah kejadian terburuk yang menimpa para Sherpa sejak tim ekspedisi Inggris pada tahun 1922. Kejadian ini kembali membuka mata dunia tentang risiko tinggi para Sherpa yang bekerja di Everest.

5. Seorang Pemandu Gunung yang Sembrono

Pada bulan Mei 2004, seorang ahli Patologi dari Alexandria, Virginia, bernama Nils Antezana mencapai puncak Everest melalui rute Punggungan Selatan. Sebuah pendakian panjang dan sulit, ia memakai jasa seorang pemandu yang bernama Gustavo Lisi untuk membantu pendakiannya. Akan tetapi, dalam perjalanan turun Antezana mengalami gangguan orientasi, kemungkinan terserang penyakit ketinggian kemudian pingsan dekat area The Balcony, beberapa ratus meter dari perkemahan tertinggi. Setelah usaha untuk menyadarakannya gagal, Lisi dan kedua Sherpa meninggalkannya untuk kemudian menuju perkemahan. Lisi, yang kemudian menerangkan bahwa dia sudah "habis" tenaga tidak melaporkan tentang kondisi kliennya tersebut di Camp 4. Ketika keesokan harinya para pendaki menuruni punggungan gunung, mereka menemukan bahwa Antezana telah menghilang dari tempat terakhir dia ditinggal. Ini adalah kali pertama kasus kecelakaan yang melibatkan pendaki dan penunjuk jalan bayaran. Penyelidikan yang dilakukan keluarga atas kelalaian Lisi pun dilakukan, akan tetapi reputasinya sebagai penunjuk jalan di Everest sudah hancur, cerita ini mengangkat selubung kabut yang menutupi pendakian komersial saat itu hingga kini.

4. Turun yang Mematikan

Pada 1998, seorang kelahiran Hawai Francys Arsentiev yang berusia 41 tahun menjadi wanita pertama Amerika yang mencapai puncak Everest tanpa bantuan oksigen. Ia menempuh jalur utara bersama suaminya, Sergei, akan tetapi pendakian ini mesti dibayar dengan sangat mahal.

Pada saat dalam perjalanan menuruni Everest, dalam kegelapan pasangan ini terpisah. Sergei tidak dapat menemui Francys pada perkemahan pertama, Ia mengira bahwa sang istri telah lebih dulu turun. Segera mengumpulkan oksigen dan alat medis, Sergei berencana naik kembali mencari Francys keesokan pagi. 48 jam berikutnya sangatlah mengerikan, bahkan untuk ukuran standar di Everest. Tim pendakian dari Uzbekistan menemukan Francys, terkena radang dingin dan setengah sadar, di sebelah Utara Everest, hampir selama satu jam mereka berusaha menyadarkan Francys namun gagal dan kemudian meninggalkannya di sana.

Insiden serupa terjadi ketika Cathy O'Dowd dan Ian Woodall menemukan Francys dalam perjalanan mereka turun. Mereka menemukan Francys dalam keadaan hidup namun gagal menyadarkannya dengan segala daya upaya. Kampak es dan tali milik Sergei ditemukan di sekitar jasad Francys, Sergei jatuh menemui kematiannya dalam usaha menyelamatkan sang istri.

3. Seorang Pendaki yang Ditinggalkan hingga Kematiannya

Pada 2006, pendaki solo Inggris bernama David Sharp menjadi fokus dari salah satu kontroversi yang hebat dan panjang dalam sejarah Everest. Pada dini hari tanggal 14 Mei, Sharp ditemukan dalam keadaan hampir pingsan di sebuah ruang sempit di Timur Laut punggungan Everest. Sharp merupakan pendaki solo berbajet kecil dan pendaki tanpa sponsor, karena itu tak ada yang melaporkan kehilangannya dan butuh beberapa hari hingga orang-orang sadar siapa pendaki pingsan itu.
Kejadian lebih buruk terjadi minggu kemudian ketika seorang pendaki Australia bernama Lincoln Hall ditemukan dalam situasi yang kurang lebih sama. Apakah ada hal yang lebih bisa dilakukan demi menyelamatkan Sharp? Apakah ada sebuah kewajiban moral yang mengharuskan para pendaki untuk menolong seorang asing yang sekarat di puncak gunung sana? Pada akhirnya Sharp hanya menjadi pelaku utama dan simbol dalam cerita sebenarnya Everest.

Anggota tim Hilaree ONeill menyeberangi jembatan tangga aluminium yang diikatkan di atas celah di Khumbu Icefall. Dipandang sebagai salah satu bahaya di Everest yang paling sulit ditebak, tempat ini merupakan labirin balok yang tajam dan longgar, yang senantiasa bergeser. Bahaya ini tidak mengurangi padatnya pendaki ke Everest seperti yang tertuang dalam NGI Juni 2013.. (Andy Bardon)

2. Menghilangnya Mallory dan Irvine

Pada tahun 1924 ekspedisi Everest nampak begitu meyakinkan. Ini adalah perjalanan ke-3 Mallory dan ia percaya bahwa ia telah menguasai hampir semua rute Everest, puncak terlihat sudah dalam genggamannya. Mallory begitu yakin dan berniat bahwa ini akan menjadi perjalanan terakhirnya di Everest. Partner pendakiannya kala itu adalah Andrew "Sandy" Irvine, seorang pendaki yang sebenarnya masih minim pengalaman namun Mallory yakin karena menilai dari fisik dan kemampuan mekanik Irvine, ia adalah seorang ahli sistem oksigen. Keduanya terakhir terlihat pada 8 Juni, sekitar jam 1 siang, oleh Noell Odell, pendaki ekspedisi Mallory yang menempuh jalur lain pada perjalanan ini.
Jasad Mallory ditemukan pada tahun 1999, tak berdaya dan terjaga kondisinya tinggi di sisi Utara. Nampak patah tulang menjadi indikasi ia mengalami kejatuhan yang fatal. Irvine tak pernah ditemukan.

1. 1996

Angka statistik yang menunjukkan 8 kematian dalam satu badai termasuk seorang penunjuk jalan dan 2 pemimpin ekspedisi dan 12 total dalam musim pendakian 1996 menjadikan tahun ini sebagai tahun pendakian terburuk dalam sejarah Everest.
Legenda ini telah diceritakan dan diceritakan kembali oleh banyak orang dan dari perspektif yang berbeda. Banyak kesimpulan negatif yang ditarik dari cerita-cerita pendakian Everest musim itu terutama oleh Jon Krakauer, seorang jurnalis dalam penugasan oleh Outside yang juga menjadi salah seorang yang selamat dari tragedi musim itu. Kompetisi perusahaan-perusahaan komersial, populasi pendaki yang terlalu memenuhi Everest, menjadi akar permasalahan yang berujung korban jiwa di Puncak Tertinggi Dunia. Menjadi pengingat yang dramatis bagi siapa saja yang ingin mengasi rejeki di Everest. Banyak perbaikan yang telah dilakukan sejak tragedi ini, komunikasi menjadi lebih dapat diandalkan. dan kerja sama di antara pendaki dan perusahaan pendakian membaik, dan secara umum sarana dan infrastruktur sejak perkemahan awal hingga puncak Everest.

Tentunya, upaya ini tidak pasti bisa menghalangi bencana lain yang akan terjadi di masa depan, akan tetapi semua orang dan profesional yang memelihara Everest bekerja keras demi mencegah terjadinya hal yang lebih buruk.

No comments:

Post a Comment